Menuju Sang Hyang




Jika kau bertanya padaku tentang kematian, siapa pulalah aku sanggup menjabarkannya. Sedikit pun aku tak mengerti tentang kematian. Karena aku masih hidup, jelas-jelas masih menulis tulisan untuk kau baca saat ini. Namun satu yang pasti, aku meyakini kematian kepada seluruh mereka yang bernyawa. Tak perlu diragukan lagi, aku, kamu, mereka tidak ada yang abadi. Di tiap kitab suci pun pasti membunyikan narasi yang sama.

Terima kasih atas segala yang telah kau berikan pada kami. Menujulah kemana kau akan menuju.


Jika kau bertanya lagi padaku tentang kehidupan, sama halnya dengan kematian. Aku tak meminta untuk hidup, namun anugerah Yang Maha Kuasalah yang memberikan aku hidup sampai saat ini. Sebab itu aku harus bersyukur karenanya. Dan suatu saat nanti, ketika waktu yang dijanjikan itu tiba, aku pasti akan kembali. Mati. Lalu hidup lagi untuk alam selanjutnya. Hingga hari pembalasan yang dijanjikan tiba.

Aku tak akan membahas konsep filsafat atau apa pun tentang kematian. Karena aku hanya akan membagikan kisah yang mungkin membosankan untukmu. Namun jika kau berkeras membacanya, silakan saja.

Aku tak pernah tahu-mungkin pernah, bahkan tak ingat siapa nama dari nenek tua renta yang kini terbujur di atas ranjang kaku yang entah kapan terakhir diganti kasur yang empuk dan enak. Tubuhnya kering, hanya tulang berbalut kulit. Tatapannya sayu. Waktu-waktu ia habiskan hanya untuk berbaring. Sesekali ia makan, duduk, berjalan pun ia tak sanggup lagi. Wanita tua itu, kami memanggilnya Dadong. Sebutan umum untuk nenek dalam bahasa Bali. Ya, dia orang Bali asli. Belakangan aku tahu namanya adalah Ni Made Runi. Entah kenapa nama itu terdengar indah ditelingaku, meski aku tak tahu pula apa arti dari nama itu.
 
Selanjutnya yang kuingat adalah rekaman masa kecilku ketika mengunjunginya bersama ayahku ketika libur sekolah tiba. Ia memang sudah tua. Namun sinar semangat dalam matanya belumlah pudar. Masih terkenang kala dia mengangkat seember air panas untuk air mandiku.

Dengan tangannya yang telah renta ia memasakkan mie instan untukku. Sesekali ia mengajakku mengobrol tentang apa saja. Namun hanya ku balas dengan senyuman dan tatapan ke matanya. Aku masih tak mengerti apa yang kau katakan, Dadong. Tak pernah ku mengerti, karena kau hanya berbicara bahasa bali. Sementara aku hanya tau bahasa Jawa dan Indonesia. Hanya sedikit kosakata bahasa Bali yang ku tahu.

Tahun berlalu, aku mulai jarang mengunjungimu. Terlebih setelah biaya menyeberang dengan muatan penuh ayam hidup begitu sulit dan mahal. Sesekali disela liburan sekolah maupun kuliah, aku mengunjungimu. Tak banyak kenangan baru yang aku buat denganmu.

Aku telah menikah. Aku pun telah berputra. Ingin sekali kukenalkan putraku padamu, Dong. Ingin sekali. Namun, waktu tampak begitu melenakan. Belum sempat kau melihat dia, dia pun belum sempat melihatmu. Hanya fotomu yang sempat ku kenalkan padanya. Kau pun telah berlalu. Berpindah kehidupan. Dan kami pun kini hanya dapat mengenangmu dalam setiap hal yang kami ingat.

Sungguh kehormatan luar biasa bagiku, dapat mengabadikanmu dalam bidikan lensaku. Senyummu yang renta dan jujur itu akan selalu dikenang. Menujulah pada kemana kau akan menuju. Selamat Jalan, Dadong. (RZ)

Comments

Popular Posts