Beragam Itu Indah

Ijinkan saya kali ini bercerita tentang suatu negeri anta berantah. Jangan tanya negeri itu di mana, karena pengembara yang telah sekali pergi ke sana pun kekeh tak mau mengingatnya. Dia hanya berkata, di sana bagaikan sebuah surga. Ya, surga. Lantas kalau di sana bagai surga, bagaimana hal nya dengan di sini, negerimu sendiri? Pengembara itu hanya menggeleng, dan berlalu. Meninggalkan tanya tentang apa surga itu.

=====================

Belakangan, jagad maya terus menerus dihebohkan dengan berbagai berita dari berbagai macam kasus yang selalu nongkrong di peringkat pertama media mainstream. Hal ini sedikit menggelitik saya untuk ikutan meramaikan. Sebelum melangkah lebih jauh, sebenarnya saya hanyalah seorang penduduk negeri yang dipanggil Pertiwi, namun nampaknya ia masih saja bsersusah hati dan berlinang air matanya.

Jika saya pun akhirnya menulis ini, bukan berarti cara pandang saya adalah yang paling tepat. Argumen saya mungkin juga banyak kelemahan, karena sekali lagi, ini mungkin adalah opini dangkal saya sebagai seorang  penduduk negeri di mana Beta di lahirkan.


Sebagai sebuah negara apa yang kurang dari tanah yang saya pijak saban hari ini. Jika dilihat dari sumber daya alamnya, mulai zaman saya TK juga para guru sudah mendengungkan tanah ini adalah tanah surga. Lautnya adalah kolam susu. Lantas bagaimana dengan manusia yang mendiami tanah surga ini? Beragam. Saking beragamnya jika digunakan tata cara nama ilmiah mungkin tidak akan cukup mengklasifikasikannya.

Ditinjau dari jumlah penduduknya, alamak, capai juga rasanya menghitungnya. Tapi jamak disebut kalau penduduk negeri ini berjumlah di atas atau sekitar 250 juta jiwa. Kalau mau ilmiah sedikit, data sensus kependudukan yang dilakukan BPS pada 2010 lalu menyebut:
"Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21 persen)".
Belum lagi penduduk alam gaibnya, tambah berapa lagi. Belum juga yang luput tidak kesensus barangkali. Sungguh besar sejatinya apa yang dimiliki oleh negara ini. Tapi, kenapa dan kenapa, tanah nenek moyangku yang seorang pelaut ini seakan jalan ditempat, bahkan mundur. Beberapa orang mungkin akan memaki saya dengan kalimat barusan. Memang ada kemajuan yang juga di negeri ini. Tapi cobalah tengok dahan dan ranting, apakah pohon dan kebun basah semua? adanya juga habis terbakar si jago merah karena ulah penduduk yang gaib tadi - ini juga saya bisa diciduk gara-gara menuduh si gaib melakukan sesuatu yang bisa jadi tidak dilakukannya.

Sudah ngomong ngalor-ngidul, terus mana fotonya? apa pula yang mau dibahas ini? sabar-sabar, sebentar lagi akan masuk ke sana.

Lahirnya negeri para semar ini yang dinamai Indonesia, bukanlah sebuah proses yang mudah. Jika Nobunaga bersama klannya dapat menyatukan Jepang semasa hidupnya, berbeda dengan Indonesia yang butuh proses lebih lama dari itu. Saking lamanya, sampai-sampai harus menunggu Belanda kalah perang, Jepang kena bom atom. Tapi selama itu apakah penduduk Indonesia tidak makmur? apakah mereka sengsara? Wallu'alam, saya belum menemukan narasumber soal itu.

Ketika akan menjadi sebuah negara Indonesia praktis melengkapi diri dengan berbagai perangkat kenegaraan. Negara modern tentunya, bukan lagi sistem monarki. Dibuatnya bendera merah putih, burung garuda sebagai lambang negara, pancasila sebagai dasar negara, UUD 45 sebagai landasan konstitusi. Komplit sudah. Kemudian oleh ahli negara mereka semua diejawantahkan dalam berbagai tafsir dan sarah (penjelasan).

Sampailah sekarang telah usianya 72 tahun. Tua, masuk lansia ini. Lihat lagi - ke diri kita paling tidak, apa yang sudah saya kontribusikan untuk negeri ini? Muncratlah isu ke-bhinekaan, pita yang dipegang sang garuda menjadi isu yang diperbincangkan hampir di seluruh obrolan. Di medsos, warung kopi, tempat kerja, bahkan bayi yang baru bisa ngehek saja barang kali sudah membicarakan ini dengan bahasa mereka.

Bersandingan, satu besar nan megah, satunya kecil.
Sudahlah, kita dilahirkan dalam wujud manusia, diberi akal oleh Allah Ta'ala untuk berpikir. Awalnya saya juga tidak sadar, ada bangunan yang kemungkinan adalah masjid di dalam foto itu. Karena dari tempat saya memotret yang saya incar hanya bangunan yang mencolok. Dan gereja itu memang mencolok.

Apakah mereka berantem? Tidak. Justru mereka tampak akur. Kalau saja masjid tidak sudi di dekat gereja, tentu sudah daru dulu mereka saling baku hantam. Pagi itu (27/4), Surabaya memang tak sebising 10 November silam ketika sekutu menggempurnya, para warga beraktivitas dengan nyaman seperti biasanya. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri. Dan waktu itu pita yang digenggam garuda masih adem ayem.

Saya, anda bisa mengubah negeri ini seperti yang dilantunkan oleh Koes Plus, menjadi tanah surga. Tapi bisa juga kita mengubah negeri ini menjadi lebih busuk dari neraka jahanam sekalipun. Pilihannya ada pada kita. I'tikad berbangsa dan bernegara harus kita pahami walau sedikit, sudah jutaan nyawa melayang untuk merah putih ini. Apakah itu masih kurang? 

Seperti lidi, patah jika sendiri, jadi sapu jika berjama'ah. Satukan visi untuk Indonesia lebih baik. Biarkan keberagaman mewarnai setiap sudut kehidupan kita. Karena kalau hanya ada warna putih saja kita silau, jika hitam saja kita buta. Penuh warnanya dunia ini yang membedakannya dengan planet lain. (Re)

Popular Posts